Bukan Malahayati, Seharusnya Keumalahayati
Jumat, 11 Mei 2018
Sumber Foto: Google | Etidor Foto: Redaksi |
Karena secara etimologi Aceh, “Mala” berarti layu. “Hayat” berarti hidup. “Malahayati” berarti Hidup yang layu. Dalam bahasa Arab, Mala berarti harta, dan tidak mungkin terminologinya ‘Harta yang hidup’. Justru,jika menilik nama seorang pahlawan seperti beliau sepertinya ada kesalahan jika merujuk etimologi diatas.
Dan, dari beberapa literasi sejarah nama beliau ditulis dengan Keumalahayati; yang berarti “Kesempurnaan Hidup”. Bukan Malahayati. Kesalahan ini, jika terus dibiarkan akan menjadi perdebatan tokoh sejarah di masa depan. Belum lagi soal photo Keumalahayati.
Apalagi dicantumkan dalam sebuah Surat Keputusan yang mengikat secara regulasi. Hal ini sama dengan persoalan Jilbab yang ada pada Cut Nyak Dhien atau Cut Mutia. Pokok djih tanyöe bagian Peutupat Iküe Mï sabé-sabé.
Nah, merujuk posisi nya sebagai seorang Laksamana. Keumalahayati adalah sosok Laksamana perempuan pertama di dunia. Hal ini menegaskan kepada kita, persoalan Gender adalah term yang sudah selesai di Aceh jauh sebelum Barat menemukan teorinya. Tentunya, Genderisasi di Aceh begitu dinamis, tidak kaku, dan mengacu pada nilai-nilai Agama dan Budaya.
Dalam Qanun Syara’ Al Asyi, seorang Laksamana harus memiliki 15 Syarat:
(1) Memenuhi 16 syarat menjadi Ulée Balang.
(2) Mengetahui perihal peperangan.
(3) Memahami Strategi Perang.
(4) Menguasai Ilmu Perang.
(5) Mengetahui tertib Darjah (tingkat) si Fael (Prajurit/Si Pai).
(6) Setia kepada Sultan, negeri dan Rakyat.
(7) Mengurus Persenjataan.
(8) Mengurus makanan dan pakaian si Fael (Prajurit).
(9) Mampu mengajar si fael senjata.
(10) Mampu mengajar si fael silat.
(11) Semua si fael diperintahkan menuntut ilmu kebal.
(12) Saling kasih-mengasihani kepada semua si fael.
(13) Memberi tadah dalam setiap orang dalam sebulan lima tahil.
(14) Tadah yang diberikan tidak mesti sama, tapi sebanyak-banyak tadah adalah lima tahil.
(15) Memberi nasehat kepada semua si Fael.
Syarat ini, sudah mencakupi tanggung jawab seorang Laksamana. Melihat semua syarat ini. Keumalahayati adalah sosok yang memiliki kesempurnaan dalam bidang peperangan yang melebihi seorang laki-laki. Jika, penulisan namanya salah maka kesan kesempurnaan ini akan terasa abai.
Kesempurnaan ilmunya layak dengan kesempurnaan yang melekat pada namanya. Jangan sampai, kesalahan penulisan akan menjadi pembenaran dimasa depan dan membuat kita Abéh Batrée bak Peubulat Lampu Senté. Dan seakan persoalan sepele, hingga muncullah para sejarawan dadakan alias ‘googelan’. Padahal, pendekatan sejarah adalah ragam perspektif termasuk Linguistik. Jangan seperti Lombard yang mengartikan “Kejam” pada Istilah “Al Qahhar”.
Oleh Karena itu, jangan latah ngomong Gender jika nilai yang melekat pada seorang wanita Aceh masa lalu tidak kita ketahui dan kita perjuangkan. Menyamakan Laksamana Keumalahayati yang berperang demi agama dan negaranya dengan Malahayati Jaman Now yang sekedar ‘Pöh Bandét’ dalam Bak Seukée adalah keliru alias Dhillun Mudhillun. Ada Meuhöe? Sebut Waled Haiqal dalam statusnya.
Sumber: linstac.com
Sumber: linstac.com