Cerita Korban Linon dan Smong di Pulau Simeulue

Cerita Korban Linon dan Smong di Pulau Simeulue

Foto Mongabay.co.id
Amonmawi - Bencana alam gempa bumi dan tsunami 12 tahun lalu menyisahkan kisah pahit bagi korban yang selamat maupun yang tidak selamat. Tragedi gempa dan tsunami tidak akan dilupakan warga Kabupaten Simeulue, sebab saat itu dua kali terjadi gempa dan tsunami, yakni 26 Desember 2004 dan gempa 28 Maret 2005.

Dari kedua bencana alam itu, warga yang mendiami Pulau Simeulue masing-masing memiliki secuil kisah bencana gempa bumi dan tsunami, dalam bahasa lokalnya disebut Linon (gempa bumi) dan Smong (tsunami).

Abi Sofyan (53), warga Desa Amiria Bahagia, Kecamatan Simeulue Timur, tidak bisa melupakan bencana gempa bumi 28 Maret 2005, satu anak tunggalnya yang masih duduk di bangku sekolah dasar dan ibu kandungnya, meninggal dunia setelah tertimpa bangunan.

"Kejadian Linon (gempa bumi) pada malam itu sangat kuat, rumah saya runtuh dan anak laki-laki saya dan ibu saya tertimpa bangunan," kutipan habadaily.com Senin, 26 Des 2016.

Dia menyebutkan, jasad anak dan ibunya ditemukan esok harinya setelah mendatangkan alat berat. Menurut Abi Sofyan, gempa pada 2005 begitu kuat sampai tidak bisa berdiri dan berlari keluar dari rumah, akibat guncangan yang kuat.

Dia mengaku pada saat itu, teriakan akan ada tsunami tidak dihiraukan lagi. Ia hanya berusaha menyingkirkan batu dan beton tempat lokasi keluarganya tertimbun rerutuhan bangunan. Dia tahu persis, pada saat kejadian itu anaknya dan ibunya satu kamar.

Saat gempa bumi dan tsunami 26 Desember 2004, rumah Abi Sofyan hanya retak. Namun kejadian itu menyisakan trauma besar kepadanya. Ombak gergasi menyapu dan merendam pemukiman serta rumah penduduk di Kabupaten Simeulue.

Lain cerita dengan Arul (38), warga Kota Sinabang yang pada saat kejadian terjatuh dan tertimpa oleh kendaraan roda duanya, akibat guncangan linon. Kejadian itu juga menyebabkan betis kanannya terkabar kena kenalpot.

"Coba bayangkan saja, kuatnya gempa bumi pada saat itu," kata Arul.

Pada Maret 2005 malam itu, Arul semakin panik setelah mendengar akan naik tsunami. Ia langsung meninggalkan kendaraannya di salah satu ruas jalan yang ada di Kota Sinabang dan lari ke rumah. Setiba di rumah, keadaan kosong dan gelap gulita.

Pada bencana tsunami 26 Desember 2004, ia seharian mencari orang tuanya yang telah berusia 68 tahun. Ia lega, orang tuanya akhirnya ditemukan sekitar pukul 18.00 WIB, di salah satu bukit yang ada di pinggiran Kecamatan Simeulue Timur.

"Ternyata dia di bawa orang dengan mobil, menuju bukit untuk mengungsi," ceritanya mengingat kenangan.

Sementara pasangan suami istri, Kaharam (56) dan Nurnaya (50), warga Kecamatan Teluk Dalam, Kabupaten Simeulue, tidak dapat melupakan linon dan smong yang terjadi 12 tahun lalu.

Dalam peristiwa itu, anak sulungnya dan menantunya hilang dan tidak ditemukan jasadnya. "Anak pertama saya dan menantu saya hilang kena tsunami di Banda Aceh, hingga saat ini tidak tau dimana kuburnya," kata Kaharaman, Senin (26/12/2016).

Setiap 26 Desember, Kaharaman rutin doa bersama keluarga besarnya. Meskipun tidak diketahui kuburan anak dan menantunya Kaharaman berharap nantinya bisa mengetahui di mana kuburan anak dan menantunya.

Untuk peringatan bencana alam 12 tahun gempa bumi dan tsunami Aceh, pihak Pemerintah Kabupaten Simeulue, menggelar doa dan zikir bersama di Mesjid Baiturrahma Kota Sinabang, selepas shalat Isya pada hari Senin, 26 Desember 2016. [Habadaily]

0 Response to "Cerita Korban Linon dan Smong di Pulau Simeulue"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Banner

Iklan Bawah Artikel

Banner