Pulau Simeulue, Keindahan Aceh yang Tak Biasa
Minggu, 27 November 2016
Comment
Foto Google Images |
Dari balik kaca jendela pesawat Susi Air, terlihat gugusan pulau dikelilingi perairan dangkal yang biru-kehijaun. Bergumpal-gumpal awan menggantung di atasnya. “Sungguh terlalu dini berpisah denganmu, Simeulue,” saya membatin.
Tak cukup waktu seminggu melihat sisi lain Aceh di pulau berjuluk Ate Fulawan. Di medio April 2015 itu, keasrian alam dan keramahan warga mulai saya lihat usai meninggalkan Kota Sinabang, ibu kota Kabupaten Simeulue.
Sepanjang perjalanan dalam kampung-kampung di Kecamatan Teupah Barat, Teupah Tengah, dan Teupah Selatan, debur ombak menghibur dari balik pepohonan kelapa yang menjulang.
Menjejak pantai-pantai cantik di Teupah Selatan
Saya tinggal di Frazha Homestay, Desa Alus-alus, Kecamatan Teupah Selatan. Desa ini dianugerahi oleh potensi alam Pantai Alus-alus. Setiap pagi saya tak perlu mengejar matahari terbit. Pun berburu sunset ketika sore.
Kedua fenomena itu bisa dinikmati hanya dari Pantai Alus-alus. Dari pantai yang juga bisa untuk berselancar dengan ombak kiri maupun ombak kanan ini, saya berkendara ke utara kecamatan.
Sepeda motor melaju di antara jejeran pokok kelapa setinggi 20-30 meter. Pantai Pasir Tinggi membuat saya berhenti. Dari jalan, lautan tak tampak, ditutupi pasir yang meninggi.
Keindahannya baru kelihatan saat turun dari pasir itu. Terbentanglah lengkungan pantai berpasir putih dengan gradasi laut yang biru-kehijauan. Hanya debur ombak dan kicau burung camar. Tak ada gazebo, penjual, apalagi banana boat, seperti yang tersedia di Pantai Lampuuk, Aceh Besar.
Suasana ramai mulai bergaung selepas Pasir Tinggi. Tepatnya ketika memasuki Desa Labuhan Bakti. Rumah-rumah kayu menjalar di tepi garis pantai yang panjang melengkung oleh teluk. Hari cerah sebabkan warna permukaan laut biru-hijau merekah.
Santap Ikan Bakar Warung Gudang
Dasar pantai terlihat bening saat saya singgah di satu kedai kayu untuk makan siang. Bangku-bangku dan meja-meja kayu telah hitam diwarnai asap. Di depannya, ada sebuah pondok menghadap pantai, di antara teduhan nyiur. Siang di pantai, enaknya makan ikan bakar. Iya, kan?
“Tidak bilang dari awal. Harus beli ikan segar dulu sama warga,” ujar Veti, perempuan pemilik kedai yang terkenal dengan nama Warung Gudang itu.
“Pejabat hingga turis asing, sering mampir untuk menyantap ikan bakar buatan kami. Ada juga yang bikin acara di tepi pantai ini. Kalau sudah begitu, mereka lebih dulu telepon saya untuk dibelikan ikan segar. Sesuai pesanan, nantinya saya buat menu ikan bakar begitu rombongan tiba,” tuturnya.
Saya dan teman perjalanan pun cari ikan segar di ujung desa. Tapi gagal, karena kesiangan. Akhirnya, dia minta bantu saudaranya. Dapat, setumpuk kerapu.
Dari pondok, saya menyaksikan bocah mengangkut berkarung-karung pecahan karang dengan sampan. Pun, aroma bumbu parutan kelapa menyeruak, yang diolah orangtua Veti di rumah samping warung. Tak begitu lama. Menu makan siang sudah tersaji di meja kayu. Lihatlah!
Ada sepiring besar kerapu bakar. Sudah dilumuri bumbu parutan kelapa yang dicampur kunyit. Dibuat pula gulai sayur, ikan asam pedas, kerupuk bawang, bumbu kecap asin, dan kelapa muda.
Angin laut bersiul. Tapi perut mulai terdiam. Bumbu kelapa benar-benar meresap.
Selanjutnya, saya meninggalkan Desa Labuhan Bakti menuju bekas Camp Thailand. Di sana, ada selat yang menghadap Pulau Batu Berlayar. Di sana pula, terdapat teluk kecil membentuk pantai yang indah, Pantai Thailand, spot yang bikin teman saya larut dalam snorkeling dan diving.
Makan Lobster di Luar Makam Pelopor Islam
Teungku Diujung, nama populer dari Syech Khalilullah. Ulama besar asal Minangkabau, Sumatera Barat, yang pertama syiar islam ke Sinabang.
Saat singgah ke Aceh dalam perjalanannya menunaikan haji pada abad 16 Masehi, beliau diutus Sultan Iskandar Muda untuk mengislamkan masyarakat Simeulue bersama muridnya Teungku Bakudo Batu.
Istri beliau bernama Putri Melur—dalama Bahasa Aceh: Si Meulue—kemudian dijadikan nama pulau ini. Pasangan suami-istri itu dimakamkan di Desa Latak Ayah, Kecamatan Simeulue Cut.
Kesanalah saya pergi pada hari yang lain. Menempuh dua jam perjalanan darat dari Teupah Selatan. Kompleks makam berbatasan dengan pinggir Teluk Mualeh. Pepohonan cemara laut meneduhkan peziarah.
Namun hari itu, penjaga makam yang juga keturunan Teungku Diujung tak di lokasi, sehingga saya tak dapat melihat surban berusia 7 abad, tombak, dan ceret air minum, peninggalan almarhum.
Di luar kompleks makam, saya singgahi Cafe Baim. Salah satu dari sejumlah warung di objek wisata Teluk Mualeh, untuk menyantap lobster. Inilah yang saya nanti-nati, makan udang raksasa langsung dari sumbernya.
Kata Bu Maya, pemilik cafe, ia bisa bikin ragam menu, mulai dari mi aceh lobster, sup lobster, gulai lobster, hingga lobster goreng. Saya pesan yang terakhir. Setengah kilo gram saja, Rp 100 ribu, yang hanya empat lobster ukuran kecil. Menariknya, saya bisa pilih sendiri lobster hidup yang dipelihara dalam kolam di kedai terapung itu.
Selagi menunggu disiapkan menu lobster, saya bunuh waktu melihat-lihat ikan di kolam. Pun panorama sekitarnya: pegunungan, pulau, dan lautan.
Seharusnya bisa juga sewa boat kapasitas 20 orang yang ditambatkan di depan cafe, untuk kelilingi teluk dan bertandang ke Pulau Simeulue Cut. Namun, lain kali saja. Lebih enak makan lobster goreng yang gurih, rasanya seperti daging kepiting yang manis.
Transportasi ke Simeulue
Masih banyak pesona Simeulue yang tak mungkin dibahas semua di sini. Belum lagi terkait objek surfing, mancing, dan diving yang dikenal dunia. Jika Anda mau ke sana, berikut informasi sekilas jalur transportasi ke Simeulue.
Dari Banda Aceh, bisa dengan L300, mini bus (travel), mobil rental, atau sepeda motor, dengan waktu tempuh sekitar 8 jam untuk tiba di Pelabuhan Labuhan Haji, Aceh Selatan. Selanjutnya menyeberang ke Pelabuhan Sinabang, Simeulue, antara 8 – 10 jam dengan kapal feri lambat atau 3 jam dengan kapal cepat.
Perjalanan darat dari Medan, bisa menumpangi bus tujuan Aceh Selatan atau Singkil. Tak terlalu jauh bila dibandingkan dengan darat dari Banda Aceh ke Labuhan Haji.
Dari Medan, bisa juga menaiki bus tujuan Kabupaten Singkil. Lalu menyeberang via laut ke Sinabang selama 10 jam dengan kapal feri lambat.
Cara lain, lewat udara udara dari Banda Aceh maupun Medan, dengan pesawat Susi Air yang terbang langsung ke Bandara Lasikin, Simeulue.
Sumber: Safariku.com
0 Response to "Pulau Simeulue, Keindahan Aceh yang Tak Biasa"
Posting Komentar